Ketum GMOCT dan Aliansi Masyarakat Desa Nyamplung Sari Laporkan Pengusaha Udang Nakal ke Penegak Hukum
Pemalang, Jawa Tengah (GMOCT) – Gabungan Media Online dan Cetak Ternama (GMOCT), yang mendapatkan informasi dari media online Kabarsbi (anggota GMOCT), akan berkolaborasi dengan aliansi masyarakat Desa Nyamplung Sari untuk melaporkan pengusaha udang vaname ke pihak berwajib. Laporan ini terkait dugaan pelanggaran hukum dan kerugian yang dialami masyarakat akibat aktivitas tambak udang yang diduga tidak memiliki izin dan mencemari lingkungan.
Ketua Umum GMOCT Agung Sulistio menerima laporan dari wartawan Kabarsbi yang dihubungi oleh seorang pengusaha udang vaname bernama Julius. Julius menyatakan akan berkoordinasi dengan Serikat Penambak Pemalang (inisial U) sebelum mengambil langkah lebih lanjut. Namun, karena dampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan dan masyarakat, Ketua Umum GMOCT memutuskan untuk segera mengambil tindakan hukum.
Aliansi masyarakat Desa Nyamplung Sari (inisial M) mendesak GMOCT untuk segera menindaklanjuti laporan ini. Aliansi tersebut menyoroti dampak buruk pembuangan limbah tambak udang di pesisir laut Pemalang. Diduga, banyak tambak beroperasi tanpa Izin Pengelolaan Lingkungan (IPAL) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), bahkan berdiri di lahan negara yang berjarak hanya 1-5 meter dari bibir pantai.
Praktik tersebut melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan. Ancaman pidana bagi orang yang menjual dan/atau memakai tanah negara tanpa hak tercantum dalam Pasal 385 KUHP jo Pasal 502 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda Rp 500 juta. Jika terdapat pengrusakan akibat pemakaian tanah tanpa izin, Pasal 406 KUHP mengancam pelaku dengan pidana penjara 2 tahun 8 bulan, dan hukuman akan ditambah sepertiga jika dilakukan lebih dari satu orang (Pasal 412 KUHP).
Lebih lanjut, penggunaan lahan bibir pantai milik negara tanpa izin juga melanggar UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir. Pasal 23 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 2014 mewajibkan izin lokasi dari pemerintah, sementara Pasal 35 Ayat (1) melarang pemanfaatan ruang di wilayah pesisir tanpa izin. Pelanggaran ini dapat dijerat dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda Rp 10 miliar (Pasal 73 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 2014).
Selain sanksi pidana, pelaku juga dapat dikenai sanksi administratif dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH), seperti pencabutan izin usaha, denda, atau penghentian aktivitas. Balai Wilayah Sungai (BWS) juga akan merekomendasikan tindakan korektif atau pelaporan ke penegak hukum dan kementerian terkait.
Koordinasi lintas instansi, termasuk BWS, DLH, dan Dinas Kelautan dan Perikanan, sangat penting untuk memastikan penanganan kasus ini sesuai dengan peraturan nasional, termasuk UU Cipta Kerja dan PP No. 21/2021. Perlu ditekankan bahwa izin lokasi dan Izin Pemanfaatan Ruang Laut (IPRL), termasuk Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), merupakan dasar hukum yang wajib dipenuhi oleh setiap pelaku usaha di wilayah pesisir.
GMOCT dan aliansi masyarakat Desa Nyamplung Sari berharap laporan ini akan mendorong penegak hukum dan kementerian terkait untuk segera turun ke lokasi dan menindak tegas para pelaku usaha yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat.
#No Viral No Justice
Team/Red (Kabarsbi)
GMOCT: Gabungan Media Online dan Cetak Ternama
Editor:
Posting Komentar